Raden Abdul Hadi seorang pemuda keturunan sultan Cirebon menikah dengan Ratu Randulawang Anjasmoro dari Kerangkeng. Pernikahan itu menurunkan empat orang putera, yaitu Muqayyim, Ismail, Yahya, dan Nyai Alfan. Mereka semua ulama kharismatik dan aktif mengembangkan ilmu Agama Islam. Kiyai Muqayyim kelak mendirikan Pesantren di Buntet Mertapada, Kiyai Ismail mendirikan Pesantren di Pesawahan Sindanglaut, dan Nyai Alfan dinikah oleh Kiyai Ardi Sela. Tokoh ini terkenal digjaya yang banyak membantu aktifitas Kiyai Muqayyim, dan keturunannya banyak yang mengelola pesantren Buntet. Sedang Yahya tidak banyak diceritakan.
Dalam satu cerita, Muqayyim lahir tahun 1770 dan dididik oleh ayahanya sampai menjadi pemuda yang menguasai ilmu agama. Di samping itu, dia banyak membaca kitab-kitab Arab pegon tulisan para wali yang ada di Keraton, sehingga dia menjadi ilmuan agama dan menguasai teknik pengembangan Agama. Karena kepinteran itulah Kiyai Muqayyim diangkat menjadi penasehat ilmu agama bagi Sultan Khairuddin I (Sultan Kanoman). Kiyai Muqayyim sangat berpihak pada kepentingan rakyat, dan tidak berfikir untuk membantu penjajah Belanda (non cooperation). Melihat gelagat seperti itu Belanda curiga atas aktifitas Kiyai Muqayyim. Maka melihat kecurigaan itu Kiyai Muqayyim keluar dari istana dan mencari tempat untuk membangun pesantren, dan Buntet itulah tempatnya.
Setelah Belanda mengetahui Kiyai Muqayyim menghimpun pemuda (santri) dan dibina di Buntet, Belanda berusaha untuk membubarkan himpunan itu dengan senjata, sehingga beberapa santri meninggal.Sebelum itu Kiyai Muqayyim dan beberapa santri sudah meninggalkan Buntet menuju Pesawahan Sindanglaut. Di Pesawahan itulah Kiyai Ismail ibn Abdul Hadi (adik Kiyai Muqayyim) sedang merintis pesantren, dan perencanaan itu didukung oleh Kiyai Ardi Sela. Rencana itu kemudian diketahui juga oleh Belanda sehingga tiga tokoh bersaudara itu harus bertahan dan membela diri. Alhamdulillah, Allah melindungi mereka selamat dari rekayasa Belanda dan mereka berhasil membangun sebuah pesantren.
Langkah berikutnya, Kiyai Ismail tetap di Pesawahan, Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela berangkat ke Tuk Sindanglaut dan mengadakan aktifitas seperti biasa. Belanda juga mengetahui aktifitas Kiyai Muqayyim di Tuk, maka atas anjuran Kiyai Ardi Sela agar Kiyai Muqayyim pindah tempat dan menyamar sebagai rakyat biasa, dengan meninggalkan daerah Cirebon. Kiyai Muqayyim berangkat ke Pemalang dan tinggal di rumah Kiyai Abdussalam, seorang Lebe di Desa Beji. Tokoh ini kelak akan menjadi penggerak pemuda (santri) di daerah Pemalang untuk mengikuti perang Diponegoro tahun 1825-1830. Sebelum terjadinya perang itu Kiyai Muqayyim sudah banyak cerita kepada Kiyai Abdussalam tentang kekejaman Belanda di Cirebon, terutama kepada ulama dan santri.
Kiyai Muqayyim tinggal di Pemalang beberapa tahun, sampai masyarakat tahu bahwa Kiyai Muqayyim adalah seorang ulama yang memiliki kharisma yang besar. Dalam waktu yang tidak lama, penguasa Belanda di Cirebon mengambil langkah yang lunak dan memasang startegi yang seolah-olah Belanda bersahabat dengan kiyai. Atas dasar itu Belanda mempersilahkan Pangeran Santri alias Pengeran Muhammad ibn Pangeran Khairuddin untuk pulang dari pengasingannya di Ambon. Begitu juga Kiyai Muqayyim bisa pulang dari Pemalang, ketika penyakit tha’un melanda masyarakat Cirebon. Waktu itu Kiyai Muqayyim mengajarkan dua buah syair penolak penyakit tha’un (kolera) dan akhirnya dua syair itu banyak dibaca oleh santri menjelang shalat berjama’ah. Mendengar akan kedatangan Kiyai Muqayyim di Cirebon lagi, santri dan pengamal thariqat Syathariyah semakin senang. Sesampainya di Buntet Pesantren, Kiyai Muqayyim banyak mengadakan riyadlah mengamalkan Thariqat Syathariyah bersama masyarakat. Ibadah Kiyai Muqayyim tekun sekali dan banyak taqarrub ilaa Allah. Dalam waktu yang tidak lama, yaitu di tahun 1802-1806 Kiyai Muqayyim mendengar pemberontakan santri yang disebut Perang Kedongdong. Medan perang itu berlokasi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan sebelah barat-utara Pesantren Babakan Ciwaringin. Para santri yang ada di pesantren daerah Cirebon, Majalengka, Indramayu dan sekitarnya ikut bertempur dalam perang itu. Kadang-kadang perang pada siang hari dan kadang-kadang malam. Dalam pertempuran itu, hizib, wirid dan semua kedigjayaan santri dikerahkan. Dalam pertempuran yang dahsyat itu, pihak Belanda mengalami kekalahan dan kerugian besar sekali, banyak tentara Belanda yang mati terutama ketika diserang oleh santri di malam hari. Selain banyak kematian, pabrik-pabrik gula Belanda di daerah-daerah Cirebon sebelah timur sampai Kadipaten juga berhenti dan tidak berproduksi. Usia Kiyai Muqayyim waktu itu sudah 62-66 tahun. Akan tetapi semangatnya besar sekali sehingga semua santri dan pengamal thariqat yang dibimbingnya dikerahkan untuk memenangkan santri dalam perang itu. Secara realitas, kemenangan dalam perang lokal itu ada di pihak santri. Tetapi di belakang kemenangan itu santri tidak menindak lanjuti, dan para kiyai kembali ke kegiatan semula. Melihat keadaan itu semua administrasi pemerintahan kita tetap dipegang oleh penjajah Belanda. Tidak lama kemudian Kiyai Muqayyim wafat dan dikuburkan di Desa Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan Kiyai Ardi Sela.
Kiyai Muqayyim meninggalkan lima orang putera-puteri, yaitu Kiyai Muhajir, Nyai Sungeb, Nyi Raisah, Nyai Thayyibah, dan Nyai Khalifah. Semua tidak dapat diceritakan dengan leluasa tetapi ada riwayat singkat, bahwa Nyai Khalifah memiliki puteri bernama Nyai Aisyah. Tokoh ini awalnya dinikah oleh Kiyai Jalalain ibn Muhammad Imam ibn Ardi Sela. (pernikahan tunggal buyut). Tetapi tidak memiliki putera. Kiyai Jalalain menikah lagi dengan Nyai Sharfiyah, dan dari pernikahan itu, lahir Kiyai Anwaruddin (Ki Kriyan), Kiyai Kilir, Kiyai Abror, dan Kiyai Muntaha.
Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim nikah lagi dengan Raden Muta’ad (1785-1852) ibn Raden Muhammad Muridin ibn Nashruddin, ibn Ali Pasya (Sultan Gebang) keturunan Sunan Gunung Jati. Dari perniakahan itu lahir sepuluh putera puteri, antara lain Nyai Rohilah (istri Ki Kriyan), Kiyai Shalih Zamzami (pendiri Pesantren Benda-kerep), dan Kiyai Abdul Jamil (penerus kiyai Buntet Pesantren). Tiga tokoh besar itu memiliki aktifitas yang berbeda, tetapi memiliki maksud yang sama yaitu membina masyarakat dan mengembangkan agama Islam. Cerita singkat tiga tokoh itu adalah :
1. Kiyai Kriyan. Tokoh menantu Kiyai Muta’ad ini masa kecilnya mengaji al-Quran dan belajar agama dari orang-orang tuanya. Setelah dewasa dia pergi ke pesan-tren di Kaliwungu Semarang, belajar ilmu kepada Kiyai Asy’ari. Setelah pulang, Kiyai Kriyan diangkat menjadi penghulu kesultanan Cirebon dan bersama keluarga tinggal di Keraton. Kiyai Kriyan bukan hanya ilmuan besar, tetapi juga seorang shufi pengamal Thariqat Syatahriyah. Meskipun dia tinggal di Keraton yang mewah tetapi dia seorang zahid, wira’i, tawakkal, ridla, tekun beribadah dan banyak riyadlah untuk taqarrub ila Allah. Melihat fenomena itu, beberapa santri berpendapat bahwa Kiyai Kriyan adalah wali. Ma’unat yang dimiliki terkadang oleh santri disebut karamah. Antara lain, Belanda tidak menaruh curiga pada aktifitas Kiyai Kriyan, tidak seperti kecurigaan mereka pada Kiyai Muqayyim dulu. Keadaan itu menjadikan Kiyai Kriyan bebas keluar-masuk Buntet Pesantren dan memberikan bimbingan sepuas-puasnya.
2. Kiyai Shalih. Ulama dan pendiri pesantren Bendakerep ini adalah tokoh yang berfikir simpel, menuntun santri agar berakhlak karimah, dan mengajarkan ilmu agama yang sangat sederhana. Selain mengajarkan bacaan al-Quran, pesantren ini mengajarkan juga beberapa kitab kuning yang kecil-kecil, dan oleh gurunya agar isi kitab itu diamalkan. Sejak dulu sampai sekarang pesantren ini tidak mau membuka madrasah atau sekolah. Selain itu beberapa tokoh mereka, melarang mengamalkan agama dicampur dengan teknologi ciptaan manusia.Atas dasar itu banyak sekali tokoh mereka yang melarang menggunakan ‘pengeras suara’ untuk khutbah Jum’at. Dalam satu riwayat tokoh ini pengamal Thariqat Syathariyah seperti Kiyai Muqayyim Kiyai Muta’ad, Kiyai Kriyan, dan ulama besar lainnya. Dalam satu riwayat, thariqat itu diturunkan kepada anak cucu. Ketika mendengar keturunan saudara kandungnya ada yang mengamalkan Thariqat Tijaniyah, maka pesantren Bendakerep berreaksi keras menolak thariqat itu, sampai terjadi gondok-gontokan, terutama dibawakan oleh Yai Zaini bin Muslim bin Shalih. Dari segi lain, Pesantren Bendakerep meskipun letaknya dekat dengan kota Cirebon, tetapi dulu lokasinya susah ditempuh oleh kendaraan. Kampung itu sunyi sekali, tetapi tenang bagi santri yang mencari ilmu. Belanda juga mengetahui kegiatan di pesantren itu, dan ingin membubarkan. Tetapi strategi mereka berubah menghadapi kiyai dengan cara sopan santun, tetapi menipu dan menerapkan adu domba. Pembesar Belanda, antara lain Residen Cirebon bernama Van der Plas sering bertemu Kiyai Shalih dan bicara untuk membujuk, agar Kiyai tidak perlu menghimpun dunia, karena dunia adalah bagaikan bangkai yang diburu oleh anjing. Ulama yang sukses adalah mereka yang hidup di lereng gunung, dan kampung yang jauh dari komunitas umat. Kiyai pasti teringat bahwa Nabi Musa AS. bermunajat dan mendengar kalam Allah di atas gunung Sinai. Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu dari Allah di Guwa Hira di atas gunung, dan banyak lagi model cerita-cerita keagamaan, yang sasarannya adalah tipu muslihat agar kiyai pasif dan tidak mengarahkan santri untuk menyerang penjajah. Maksud mereka agar tokoh bangsa kita tidak tertarik untuk mengelola negerinya sendiri. Kalau ada kiyai yang hendak bergerak, dan menampakkan kebenciannya kepada Belanda, maka mereka didatangi dengan sopan santun, untuk dilunakkan hatinya.
3. Kiyai Abdul Jamil. Tokoh ini lahir tahun 1842 di Buntet Pesantren. Adik kandung Kiyai Shalih Bendakerep ini pada masa kecil belajar ilmu agama pada ulama yang ada di Buntet. Setelah dewasa dia belajar ilmu fiqih pada Kiyai Murtadlo di Pesantren Mayong Jepara, dan belajar ilmu tauhid pada Kiyai Ubaidah di Tegal. Setelah menjadi pemuda, Abdul Jamil berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mencari ilmu. Waktu itu, perjalanan dari nusantara ke Makkah dan sebaliknya sudah mudah, karena mulai tahun 1869 terusan Suez dibuka. Kapal Api milik Belanda yang membawa hasil bumi, gula, dan rempah-rempah dari kepulauan nusantara ke Eropa berjalan terus, paling tidak tiga atau empat kali dalam satu tahun. Perjalanan kapal selalu mampir di Pulabuhan Jeddah untuk mengisi air dan keperluan lain. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan beberapa pemuda untuk ibadah haji atau untuk muqim mencari ilmu di Makkah/Madinah atau di Mesir. Ada dugaan keras bahwa Abdul Jamil muqim di Makkah beberapa bulan atau beberapa tahun itu, bertemu dan bergaul dengan Nasuha ibn Zayadi (pendiri pesantren Jatisari Plered) dan adiknya, Isma’il ibn Zayadi (pendiri pesantren Cipeujeuh Sindanglaut). Pada waktu itu halaqah di Masjid al-Haram yang banyak dikerumuni oleh muqimin dari Jawa adalah pengajian Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi.
Setelah pulang, K.H.Abdul Jamil yang berusia 30 an dinikahkan dengan putri Kiyai Kriyan yang bernama Sa’diyah, dan tinggal di kompleks Kraton. Karena puteri ini masih kecil, maka K.H. Abdul Jamil dinikahkan lagi dengan Qari’ah bint K.H. Syathari (penghulu landrat Cirebon). Pernikahan K.H. Abdul Jamil dengan Qariah melahirkan 4 putera, yaitu Abbas, Akyas, Anas dan Ilyas, dan 4 puteri yaitu Yaqut, Mu’minah, Nadlrah, dan Zamrud. Sedang pernikahannya dengan Sa’diyah bint Kiyai Kriyan, K.H. Abdul Jamil melahirkan 5 putra, yaitu Syakirah, Mundah, Ahmad Zahid (ayah K.H. Izzuddin Buntet), Nyai Enci dan Halimah.
Dalam sejarahnya, Buntet Pesantren mengalami perkembangan yang berliku-liku dari zaman Kiyai Muqayyim sampai zaman kemerekaan. Kiyai Muqayyim adalah pendiri pesantren, tetapi tidak selamanya tinggal di Buntet, karena dikejar-kejar oleh Belanda. Meskipun Kiyai Muqayyim wafat di Buntet, tetapi lembaga ini mengalami fatrah yang lama. Apalagi putera pertama Kiyai Muqayyim sendiri yang bernama Raden Muhajir tidak diketahui ceritanya. Maka Buntet Pesantren perkembangannya ditata ulang oleh Kiyai Muta’ad (w. 1852) ibn Muridin ibn Ali Basya (Pangeran Gebang). Sehubungan Raden Muta’ad menikah dengan Nyai Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim, maka dia termasuk keluarga besar Buntet Pesantren. Program Kiyai Muta’ad selain pengamalan Thariqat Syatahriyah juga membentuk majlis ta’lim. Dalam majlis itu Kiyai Muta’ad mengajarkan membaca al-Quran, dan mempelajari beberapa masalah fiqhiyah. Pada waktu itu, baik ayat al-Quran atau masalah-masalah fiqhiyah selalu diajarkan dengan memakai tulisan tangan. Begitu itu karena cetakan al-Quran atau kitab agama belum banyak beredar di Cirebon. Padahal dalam catatan sejarah, Ibrahim Mutafarriqa di Turki sudah mencetak al-Quran dan beberapa kitab klasik (kitab kuning) sekitar tahun 1720 an. Begitu juga pemerintahan Muhammad Ali di Mesir (1769-1849 M) sudah mencetak beberapa judul Kitab Kuning. Tetapi pemerintah Belanda tidak mengimport barang-barang semacam itu. Karena itu, keperluan belajar al-Quran atau kitab kuning di Buntet dan sekitarnya harus ditulis tangan. Dalam penglolaan Buntet Pesantren seperti itu Kiyai Muta’ad bersama jamaahnya selalu mengamalkan Thariqat Syathariyah untuk wirid sesudah shalat jama’ah maktubah. Berkat amalan itu, Buntet Pesantren mulai hidup lagi, setelah tertata ulang. Kiyai Muta’ad wafat dalam usia 67 tahun dan dikuburkan di Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela.
Sesudah Kiyai Muta’ad wafat, Buntet Pesantren dikelola oleh Kiyai Abdul Jamil ibn Muta’ad. Pesantren pada masa itu berkembang lebih pesat, didukung oleh Haji Ali dari Kanggraksan Cirebon mewaqafkan tanah dan dibangunkannya sebuah masjid di atasnya. Tidak hanya itu tetapi di sekitar masjid, disediakan tanah yang disiapkan untuk dibangun pondok pesantren. Maka pada langkah berikutnya Kiyai Abdul Jamil yang dibantu oleh sanak saudara dan masyarakat itu mulai membangun pondok untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Masyarakat tahu bahwa K.H. Abdul Jamil memiliki suara yang bagus dalam membaca al-Quran, maka santri Buntet waktu itu sering disebut ahli qiraat (al-Quran). Pengajian di Buntet Pesantren bukan hanya Qiraat al-Quran, tetapi juga kitab yang membahas ilmu agama. Tokoh-tokoh yang membantu pengajian itu, antara lain K.H. Abdul Mun’im, K.H. Abdul Mu’thi, Kiyai Tarmidzi dan lain-lain. Tidak hanya itu, Kiyai Abdul Jamil bersama masyarakat membangun jalan dan jembatan yang menghubungkan pondok pesantren dengan masyarakat. Pembangunan jalan itu disingkronkan dengan program Belanda yang membangun kali (saluran air) untuk keperluan pertanian, dan penanaman tebu di sekitar pesantren untuk mengisi pabrik gula.
Dalam buku berjudul “Perlawanan dari Tanah Pengasingan” yang ditulis oleh H. Ahmad Zaini Hasan dicertakan bahwa Kiyai Abdul Jamil sepulangnya dari Makkah dipanggil Haji Den Jamil (Raden Abdul Jamil) dan berhasil menghimpun para kiyai di lingkungan keluarganya, haji, saudagar/pedagang dan lain-lain untuk membangun dan menata kembali sarana fisik serta aktivitas pesantren. Pada masa itu, santri Buntet Pesantren putera-puteri mencapai 700 yang datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Singapore, kata buku itu. Setiap bulan puasa, Pesantren Buntet dikerumuni para santri dari tanah Jawa dan luar Jawa yang mengaji pasaran. Dengan demikian masyhurlah nama Syaikh Abdul Jamil dan Pesantren di Buntet Astanajapura Cirebon.
Dalam buku itu ditulis pula bahwa pada tahun 1882 Belanda membentuk lembaga bernama ‘Presterraden’ yang diharapkan bisa mengawasi gerakan dan perkembangan aksi yang dilakukan oleh santri/pesantren. Untuk mengantisipasi aktifitas lembaga itu K,H. Abdul Jamil bersama ulama lain mengambil beberapa langkah, yaitu (1) Fatwa Ciremai yang isinya a). Mengharamkan para santri menjadi pegawai Belanda, b). Mengharamkan bangsa kita berperilaku dan berpakaian seperti Belanda dan bergaya priyayi seperti orang Islam yang bersikap cooperation dengan penjajah Belanda. c) Pembentukan budaya santri yang diisi dengan amalan thariqat, (2) Mengadakan pengajian di beberapa tempat untuk menumbuhkan perasaan jihad fi sabilillah. (3) Memutuskan a) Membentuk santri agar bersikap mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, b). Menumbuhkan pesaraan nasionalis dengan doktrin hubb al-wathan min al-iman. c). Mengadakan latihan fisik, bela diri. (4) Mengadakan shilaturrahmi kepada kiyai/ulama terutama mereka yang pejuang kemeredekaan. (5) Gerakan Riyadlah, dan (6) Mengorganisir pengamal thariqat, untuk ikut berjuang dan membantu berdirinya negara di nusantara ini. (Diringkas dari halaman 41-51).
Meskipun Buntet Pesantren banyak didatangi oleh santri dari berbagai daerah, sebagaimana diceritakan di atas tetapi putera-putera K.H. Abdul Jamil diberangkatkan juga untuk belajar di pesantren lain, baik sebelum K.H., Abdul Jamil wafat, maupun sesudahnya. K.H. Abdul Jamil wafat pada pagi Shubuh hari Selasa tanggal 23 Rabi’ul Tsani 1339 H. Atau tahun 1919 M, dan dikuburkan di Pesarean Buntet Pesantren.
Setelah K.H. Abdul Jamil wafat, Buntet Pesantren diasuh oleh para putera yang dipimpin oleh Raden Abbas ibn Abdul Jamil. Pada masa kecil, Raden Abbas bersama adik-adiknya diasuh dan dididik oleh ayahnya. Setelah menjelang dewasa, Den Abbas dikirimkan ke Pesantren di Jatisari Weru Plered yang diasuh oleh K.H. Nasuha ibn Zayadi. (Ulama ini ditulis dalam artikel tersendiri). Dalam pesantren ini Raden Abbas mengkhatamkan kitab fiqh dan tawhid, antara lain Fathul Mu’in. Dalam tahun itu pula Raden Abbas belajar juga pada K.H. Hasan di Sukunsari Weru Plered. Kemudian Den Abbas pindah ke pesantren Giren Tegal untuk pelajar ilmu tauhid pada ulama sepuh, K.H. Ubaidah. Kemudian Den Abbas meneruskan belajar ilmu hadits dan ilmu tafsir al-Quran pada K.H. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang.
Sepulangnya dari tafaqquh fi al-diin, Raden Abbas mulai mengelola Pesantren Buntet dan menikah pertama dengan Nyai Hafizhoh. Setelah lahir putera pertama, Raden Abbas berangkat ke Makkah untuk ibadah haji dan mencari ilmu. Dalam kisah ini, Raden Abbas bersama Gus Abdul Wahhab Hasbullah dari Jombang berjumpa dan mengambil barakah dari ulama kharismatik, K.H. Mahfuzh ibn Abdillah ibn Abdul Mannan dari Pesantren Termas Pacitan yang mukim di Makkah. Setelah pulang dan menetap di Buntet, K.H. Abbas pernikahannya dengan Nyai Hafizhoh melahirkan 4 orang putera, yaitu Kiyai Mustahdi, Kiyai Abdul Razak, Kiyai Mustamid, dan Nyai Sumaryam. Sedang pernikahannya dengan Nyai Lanah, K.H. Abbas melahirkan enam orang lagi, yaitu Raden Abdullah ibn Abbas, Nyai Qismatul Maula, Nyai Sukaenah, Nyai Maimunah, Raden Nahdluddin, dan Nyai Munawwarah.
Profil K.H. Abbas adalah ulama yang tampak sederhana berakhlak mulia dan sangat dermawan. Meskipun dia termasuk keturunan Syarif Hidayatullah, tetapi dia tetap hormat pada habib-habib (habaib) yang ada di Jawa. Ketika mereka bertamu kepada K.H. Abbas, mereka dihormati seperti tamu istimewa. Begitu itu, karena K.H. Abbas adalah tokoh yang sangat cinta kepada Rasulullah Saw. Kalau yang datang itu habib palsu misalnya, K.H. Abbas tetap menghormati dengan niat yang suci, sambil mencurahkan rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Akhlak seperti itu banyak dilakukan oleh ulama pencinta Rasulullah, pengamal Nazam Burdah seperti Yai Khalil Madura, Mbah Ma’shum Lasem, atau Mbah Yai Syathari Arjawinangun dan lain-lain.
Meskipun penampilan K.H. Abbas sopan santun, lemah lembut, dan berakhlak mulia, tetapi sikapnya terhadap Belanda keras sekali dan tidak mau kompromi. Semua santri dididik dengan tekun agar mereka anti penjajah, dan berusaha agar Belanda, Jepang, dan semua penjajah bubar dari tanah nusantara tercinta ini. K.H. Abbas juga mambentuk dan memimpin Hizbullah di daerah Cirebon bagian timur. Dia sering melatih santri untuk bela diri, dan mereka disiapkan untuk melawan penjajah jika terjadi pertempuran. Beberapa cerita tentang K.H. Abbas yang bersikap anti penjajah itu luas sekali tetapi andil yang besar bagi kemerdekaan Indonesia adalah dia bersama beberapa tokoh dari Cirebon mengikuti Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari. Pada tanggal 22 Oktober 1945 para ulama dan santri se Jawa-Madura kumpul di Surabaya untuk merumuskan Resoluis Jihad. Waktu itu para kiyai dan santri sudah berkumpul, maka utusan dari Termas Pacitan usul agar rapat segera dimulai. K.H. Hasyim Asy’ari menjawab : Nanti sebentar lagi teman-teman dari Cirebon akan datang. Mereka adalah K.H. Abbas Buntet, KH. Amin Babakan Ciwaringin, K.H.A. Syathari Arjawinangun, K.H. Syamsuri Walantara, dan empat orang lagi yang penulis belum dapatkan nama-namanya. Apa isi Resolusi Jihad itu? (Buka Google dengan key word Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy’ari) dan baca semua artikel yang mengiringi tulisan INSISTS itu. Inti Resolusi Jihad adalah kesepakatan para kiyai dan santri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan segalanya diatur oleh bangsa Indonesia sendiri. Sementara Belanda dan sekutu Barat tidak senang munculnya kemerdekaan negara-negara jajahan seperti itu. Mereka menggalakkan perang dengan mengerahkan pasukan tempur yang kuat sekali untuk menghabisi kekuatan bangsa Indonesia. Maka terjadilah perang 10 November 1945 itu. (Buka Google dengan key word Perang 10 November 1945). Menurut cerita sejarah, bahwa perang ini meskipun waktunya tidak lama, tetapi beban santri dan komunitas ahli thariqat menilai lebih berat dari pada Perang Kedongdong (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Imam Bonjol (1831-1838), Perang Tengku Umar di Aceh (1873-1908), dan perang-perang lokal lainnya. Semua perang-perang tadi, santri dan bangsa kita hanya menghadapi Belanda, sedang perang 10 November 1945 santri dan pemuda lain harus perang menghadapi sekutu Inggris pemenang Perang Dunia Kedua, Netherland Indies Cifil Adminitration (NICA). Tidak hanya itu, mereka mengerahkan tentara juga dari negara jajahannya (India/Pakistan). Semua diberi persenjataan yang lengkap dan canggih, serta dibantu oleh pesawat terbang yang memutahkan bom dari udara di atas kota medan pertempuran. Pada waktu itu, penduduk Surabaya dan santri pejuang banyak yang mati syahid, bahkan puluhan ribu. Mereka dalam sejarah itu sering disebut ‘Arek-arek Surabaya’. Padahal kebanyakan mereka adalah santri yang datang dari beberapa pesantren dari Jawa-Madura. Buka Google dengan key word: Peristiwa 10 November 1945, dan baca juga pidato Bung Tomo selaku pimpinan perang waktu itu.
Secara perhitungan akal, santri dan bangsa kita tidak akan menang menghadapi musuh yang sangat kuat itu. Tetapi berkat bacaan ‘takbir’ yang disuarakan berkali-kali oleh santri, serta niat mereka sangat ikhlas dan bersedia mati untuk mengangkat agama Allah di bumi nusantara ini, maka alhamdulillah pertempuran itu dimenangkan oleh bangsa kita, sehingga semua penjajah angkat kaki dari bumi yang indah dan penuh barakah ini.
Dalam artikel ‘Sejarah Perjuangan dan Sejarah Terbentuknya TNI’ diceritakan bahwa: Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak mempunyai kesatuan tentara. (Buka Google dengan key ward: Pembentukan TIN 1945-1947). Dengan demikian perhitungan Perang 10 November 1945 itu bukan didasarkan atas perhitungan militer, tetapi hanya didorong oleh ‘Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asyari dan Resolusi Jihad NU’. Ada cerita lisan bahwa pada pertempuran itu Ziya’ al-Haq dari Pakistan bersama teman-temannya ditugaskan oleh sekutu untuk menghabiskan musuh mereka di Jawa. Tetapi setelah menghadapi musuh yang selalu menteriakkan ‘Allahu Akbar’ Ziya’ al-Haq dan kawan-kawannya diam, tidak mau meneruskan peperangan lebih lanjut. Barangkali itulah salah satu rahmat Allah yang tampak kelihatan, yang dicurahkan kepada santri dan bangsa kita. Karena itu wajar kalau dalam Pembukaan UUD 1945 dicantumkan kata-kata:‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ dan seterusnya, untuk mengenang perjuangan kiyai dan santri.
Mempelajari sejarah Indonesia seperti itu, berarti andil para kiyai dan santri pada kemerdekaan Indonesia sangat besar.Apa lagi waktu itu beberapa tokoh Islam modern banyak yang menyatakan dirinya cooperation dengan penjajah Belanda. Atas dasar itu wajar kalau ada ulama yang usul kepada Presiden pilihan rakyat, agar menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional. Tetapi perjuangan santri dengan usul yang simpatik itu, dunilai oleh pembesar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahwa itu sinting.
Begitulah kegiatan K.H. Abbas dan santri untuk kemerdekaan Indonesia. Tokoh ini di samping pejuang kemerdekaan juga seorang pendidik santri yang kreatif. Pada tahun 1928 K.H. Abbas membuka marasah untuk santri yang inspirasinya diambil dari Pesantren Tebuireng Jombang. Madrasah itu disebut Madrasah Abna al-Wathan yang terdiri dari enam kelas, dengan kurikulum berjenjang. Enam kelas itu terdiri atas kelas-kelas Tahdiri, Shifir Awwal, Shifir Thani, Qismul Awwal, Qismul Tsani, dan Qismul Tsalis. Dengan munculnya madrasah itu, Buntet Pesantren semakin besar dan bersemarak. Semua kelas di awal jam pelajaran sambil menunggu guru, semua murid secara bersama-sama membaca nazham yang sudah diajarkan. Satu kelas membaca Nazham Aqidatul Awam, kelas lain membacakan Nazham Kharidatul Bahiyah, kelas lain lagi membacakan Nazham Jazariyah, kelas lainnya lagi membacakan Nazham ‘Imrithi dan lain sebagainya. Setelah 28 tahun madrasah hidup di Buntet Pesantren, maka di tahun 1946 K.H. Abbas Abdul Jamil wafat, dan dikuburkan di Pemakaman Buntet Pesantren.
Kembali akan kehadiran madrasah di pesantren, Buntet 1928, dan Arjawinangun 1931 itu banyak sekali ulama di beberapa daerah yang tidak setuju. Studi di madrasah memakai papan tulis, ditulis dengan kapur dan sebagainya, itu sama seperti model studinya Belanda. Dalam madrasah itu beberapa ayat-ayat al-Quran ditulis dengan memakai kapur. Setelah papan tulis itu dihapus, remukan kapur tadi diinjak-injak oleh orang yang berjalan kaki di lantai madrasah. Maka berarti ayat-ayat al-Quran diinjak-injak oleh orang. Demikian salah satu alasan orang yang tidak setuju adanya model pendidikan madrasah di pesantren.
Untuk melayani kaum muslimin yang berfikir seperti itu, K.H. Anas ibn Abdul Jamil membangun pesantren di Blok Kilapat Desa Mertapada Kulon yang diberi nama Pesantren Sidamuliya. Pesantren ini tidak membuka madrasah, tetapi hanya pengajian kitab kuning dengan metoda sorogan atau metoda bandongan. Kompleks Pesantren Sidamuliya ini kelihatan sederhana karena hanya ada bangunan masjid, rumah kiyai dan bangunan pondok tiga kamar untuk santri.
Begitulah cerita singkat tentang sejarah Buntet Pesantren dari kelahiran, sampai Indonesia merdeka (Yaitu tahun 1740 an sampai 1945). Berikutnya perlu ada artikel lagi tentang Sejarah Buntet Pesantren, dari tahun 1946 sampai 2014. Artikel itu menguraikan posisi dan kegiatan Buntet Pesantren dari tahun ke tahun. Antara lain tentang (1) Sesudah Indonesia merdeka, Belanda masuk ke Indonesia lagi untuk menjajah kembali sampai berakhir tahun 1949. (2) Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan model demokrasi ‘terpimpin’ yang membuka partai berdiskusi dan bergerak bebas, sampai berakhir munculnya G 30 S (PKI). (3) Kekuasaan Orde Baru, yang diawali oleh demonstrasi mahasiswa KAMI/KAPI yang menuntut pembubaran PKI serta ormas-ormasnya, dan seterusnya. (Buka juga Google dengan key ward: Sejarah Indonesia (1966-1998). (4) Pemerintahan tokoh-tokoh besar B.J. Habibi, Gus Dur, Megawati dan SBY, (1998-2014). Semua itu mempunyai model penglolaan negara dari segi-segi sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, yang dapat dikaitkan dengan sejarah perkembangan Buntet Pesantren.
Sementara tokoh Buntet yang perlu diuraikan dalam sejarah itu antara lain K.H. Mustahdi, K.H. Mustamid, K.H. Abdullah, K.H. Ahmad Zahid, dan beberapa ulama senior yang sudah wafat. Tokoh junior Buntet Pesantren yang sudah wafat juga dapat diuraikan seperlunya. Tokoh junior yang sudah wafat dan kenal penulis antara lain K.H. Izzuddin, K.H. Fuad Hasyim, dan K.H. Fahim Royandi. Sedangkan tokoh junior yang masih hidup lebih banyak lagi, di antara yang akrab dengan penulis adalah Drs. K.H. Hasanuddin Kriyani, dan Ny. Hj. Ani Yuliani bint Abdullah ibn Abbas. Tokoh ini akrab dengan istri penulis, Hj. Azzah Zumrud. Wallahu a’lam bi al-shawab.